Mulailah mengetik pada pencarian di atas dan tekan tombol kaca pembesar untuk mencari.

Budaya Sadar Bencana Sejak Zaman Nenek Moyang di Bali

Dilihat 1219 kali
Budaya Sadar Bencana Sejak Zaman Nenek Moyang di Bali

Foto : Budaya sadar bencana dalam tradisi Masyarakat Bali (Tim Budaya Sadar Bencana BNPB)

BALI - Berbicara masalah bencana, Masyarakat Bali rupanya telah memiliki budaya akan bencana sejak nenek moyang. Berbagai upaya dilakukan guna mengatasi kemungkinan akan terjadinya bencana hingga dampaknya.


Kearifan lokal atau budaya itu  terbentuk karena masyarakat telah menyadari sejak dahulu bahwa Pulau Bali dengan beberapa pulau kecil di sekitarnya cukup berpotensi  dilanda bencana. 


Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati alias Cok Ace menegaskan, Masyarakat Bali sejak dahulu kala telah memiliki budaya sadar bencana dan telah dipraktekkan dalam kesehariannya. 


“Masyarakat Bali dari dulu telah mengklasifikasikan berbagai bencana yang datang serta punya cara sendiri dalam mengatasinya,” jelasnya. 


Terkait hal ini, masyarakat Bali telah mengklasifikasikan bencana yang terjadi serta diakibatkan sejumlah hal. Misalnya, bencana yang tidak terduga seperti bencana gempabumi dan tsunami. Masyarakat  Bali juga menilai bahwa bencana yang terjadi disebabkan akibat ‘human error’ atau termasuk kesalahan manusia seperti kebakaran hutan, tanah longsor dan lainnya. 


Dalam hal ini, Cok Ace memaparkan jika ada dua cara bagi Masyarakat Bali dalam mengatasi hal tersebut, yakni upaya ‘skala’ dan ‘niskala’. 


Upaya unsur ‘skala’ dalam hal ini yakni masyarakat dihimbau untuk tidak melakukan pengrusakan terhadap alam semesta sehingga berpotensi terjadinya bencana. Di sini Masyarakat Bali, dihimbau dan diberlakukan secara ketat serta didukung oleh aturan adat dengan adanya sejumlah sanksi adat bagi yang melanggar.  


Sementara unsur ‘niskala’ umumnya ditempuh oleh masyarakat Bali dengan melakukan sarana upacara keagamaan sehingga bencana tidak terulang lagi berikut memohon keselamat bagi masyarakat.  


“Ada dua acara bagi masyarakat Bali cara mengatasi yakni skala dan niskala. Secara filosofis juga masyarakat Bali ‘a ware’ peduli dengan lingkungan dan telah dikemas dalam bentuk keyakinan-keyakinan untuk menjaga kelestarian hutan,” tegas Tokoh Puri Ubud ini. 


Cok juga menyebutkan bahwa ada namanya ‘wana kertih’ yang merupakan bagian dari visi dan misi Provinsi Bali sebagai bagian dari Masyarakat Bali menjaga hutan. 


Misalkan terjadi gempabumi dan lainnya, maka lewat dengan kearifan lokalnya, Masyarakat Bali sudah berpikir sudah mengantisipasi hal itu dalam bentuk membanguan bangunan yang kuat dan tahan gempa. 


Jika sewaktu-waktu terjadi bencana, pihak Pemprov Bali selalu siap menempuh langkah-langkah darurat seperti melakukan evakuasi terhadap warga terdampak di kawasan radius terdekat.  Selama ini kebutuhan di kawasan terdampak bencana pada masa darurat di Bali, seperti penyedian berbagai kebutuhan selama bencana seperti selimut dan tenda dan lain-lain selalu terpenuhi. Hal ini juga karena ditunjang dengan sejumlah kearifan lokal di Bali tersebut. 


Cok Ace juga menyatakan optimismenya akan ajang GPDRR (Global Platform for Disarter Risk Reduction)  yang akan digelar  tahun 2022 mendatang akan berjalan dengan sukses.  

Sejumlah persiapan sudah dilakukan termasuk telah melakukan telah simulasi kebencanaan dan telah bekerjasama dengan sejumlah hotel di Kawasan Bali selatan dan telah terseritifikasi.  


“Mereka telah memiliki SOP dan sertifikasi bagi masyarakat di kawasan pesisir jika sewaktu-waktu terjadi bencana. Sejumlah langkah juga kan ditempuh dan dalam hal ini Bali siap menggelar acara GPDRR berikut antisipasi kebencanaan dan kemungkinan terjadi,” tegas Cok Ace. 


Di sisi lain, Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB (8/6), Raditya Jati berharap agar potensi atau kearifan lokal di kalangan masyarakat  diharapkan sebagai budaya dalam penanganan bencana secara kolektif di mana  bencana dan risiko yang akan terjadi bisa diantisipasi secara bersama-sama dalam modalitas sosial. 


Menurut Raditya, hal itu penting agar bagaimana pemahanan kearifan lokal ini menjadi budaya, di mana risiko yang akan terjadi, berikut apa yang menjadi ancaman, dan strategi untuk menghadapi bencana tersebut.  


Dengan pemahaman yang baik itu maka risiko akan berkurang, dan jika risiko bencana semakin berkurang maka akan mengurangi korban jiwa dan mengurangi warga terdampak dan dampak ekonomi.  


“Saya rasa yang paling penting yakni bagaimana membangun kesadaran akan budaya sadar bersama dibangun secara kolektif dan budaya sadar bencana menjadi skala prioritas menuju Indonesia aman dari bencana,” tegas Raditya.  


Tim Budaya Sadar Bencana BNPB

Penulis

Admin


BAGIKAN