Mulailah mengetik pada pencarian di atas dan tekan tombol kaca pembesar untuk mencari.

Pentingnya Sinergi Seluruh Aspek Dalam Pengurangan Risiko Bencana

Dilihat 615 kali
Pentingnya Sinergi Seluruh Aspek Dalam Pengurangan Risiko Bencana

Foto : Webinar Menakar Kesiapsiagaan Sumatera Barat, Refleksi 11 Tahun Gempa 30 September dan 10 Tahun Tsunami Mentawai dalam Bingkai Pengurangan Risiko Bencana pada Minggu (4/10). (Istimewa)


JAKARTA - Tepat pada tanggal 9 September 2009 gempa berkekuatan 7,9 skala richter (SR) mengguncang Padang, Provinsi Sumatera Barat. Tragedi itu tercatat telah menelan korban sebanyak 6.234 jiwa. 

Selang satu tahun kemudian, pada 25 Oktober 2010, wilayah Provinsi Sumatera Barat kembali digoyang gempa dengan kekuatan 7,7 SR.

Gempa tersebut juga memicu terjadinya gelombang tsunami setinggi 3-10 meter dan menerjang Kepulauan Mentawai, gugusan pulau yang berada di sisi barat Provinsi Sumatera Barat dan berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.

Menurut catatan, Gelombang tsunami itu menghancurkan 77 desa dan sebanyak 286 orang dilaporkan tewas, sedangkan 252 lainnya dilaporkan hilang.

Dua peristiwa itu sekaligus menjadi catatan kelam yang hingga kini masih menjadi mimpi buruk dan selalu menghantui Bumi Minangkabau.

Meneropong kembali ke masa lalu Sumatera Barat, tentunya hal itu tidak bertujuan mengorek kembali luka lama.

Berkaca pada kejadian 11 tahun lalu, banyak ragam upaya yang bisa diambil untuk menggerakkan pengurangan risiko bencana dan tentunya harus dilakukan oleh semua sektor.

Hal itu menjadi penting, sebab pengurangan risiko bencana juga sekaligus menjadi poros utama dalam menggerakkan seluruh roda kehidupan, baik ekonomi, pariwisata, sosial, budaya dan sumber daya lainnya yang dimiliki Sumatera Barat.

Dalam hal ini, kerja sama multi pihak harus dilakukan dengan baik, mulai dari pemerintah, dunia usaha, akademisi, komunitas dan media massa.

Bicara mengenai refleksi 11 tahun peristiwa Gempa Padang dan 10 tahun Tsunami Mentawai, hal itu juga sekaligus memberikan pekerjaan rumah mengenai catatan dan proses pendokumentasian yang belum dilaksanakan dengan baik sebagai literasi pembelajaran bagi generasi penerus.

Apa yang seharusnya menjadi bekal dalam proses kemajuan pembangunan manusia di masa yang akan datang masih menjadi tantangan dan terhambat oleh berbagai faktor, salah satunya adalah adanya program yang sama di satu kota oleh beberapa lembaga dengan muatan substansi yang sama.

Ketua Koordinator Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Sumatera Barat, Khalid Syaifullah mengatakan bahwa koordinasi menjadi penting untuk dilakukan demi menghindari duplikasi upaya yang dilakukan.

Selain itu juga untuk memahami kontribusi terhadap pemahaman kebutuhan bersama, mempertahankan prinsip standar minimum, menjamin adanya kesenjangan geografis serta program yang dijembatani.

“Hal ini dilakukan karena banyak bencana yang tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak. Bencana adalah urusan banyak pihak dan lintas sektor. Oleh sebab itu penting untuk bisa saling berkoordinasi,” jelas Khalid dalam Webinar Menakar Kesiapsiagaan Sumatera Barat, Refleksi 11 Tahun Gempa 30 September dan 10 Tahun Tsunami Mentawai dalam Bingkai Pengurangan Risiko Bencana pada Minggu (4/10).

Pada kesempatan yang sama, Kepala Stasiun Geofisika Kelas I, Badan Meterooorlogi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Padang Panjang, Irwan Slamet mengatakan bahwa selain koordinasi dari berbagai sektor dan pengembangan literasi, perlu adanya penunjang yang lain yakni dari sistem peringatan dini atau Early Warning System (EWS) gempa dan tsunami, sehingga informasi dapat segera tersampaikan.

Dalam hal ini, BMKG telah menebar beberapa alat EWS meliputi BOUY, OBU, Tide Gauge, Seismograph, Sirine, Deep Ocean Assessment Reporting ot Tsunami (DAART), Cable Based Tsunameter (CBT) dan sebagainya.

“Harapannya alat ini bisa berfungsi secara optimal dan tidak ada alat yang hilang seperti kejadian sebelumnya, serta bisa dijaga sebaiknya demi keselamatan kita bersama,” jelas Irwan.

Menanggapi beberapa hal tersebut, Direktur Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Eny Supartini mengatakan bahwa dalam implementasinya, pengurangan risiko bencana diperlukan pola pemerataan tiap daerah untuk menyatukan sinergi dan menyamakan frekuensi.

"Kita perlu sebuah pola ataupu metrik di sebuah daerah itu untuk bisa memeratakan atau memberikan investasi yang sama, sehingga tidak ada perbedaan kapasitas,” ujar Eny.

Kemudian Eny juga mengatakan bahwa selain dukungan peralatan sistem peringatan dini, konsep pengurangan risiko bencana juga harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas masyarakat. 

Dalam hal ini pemerintah daerah dan berbagai sektor lainnya juga harus mendukung investasi seperti pengembangan logistik, kajian wilayah yang sama dan kapasitas dalam membaca ancaman risiko bencana serta keberpihakan kepada masyarakat.

“Simulasi ataupun latihan bersama serta bagaimana juga kita meningkatkan kapasitas masyarakat,” jelas Eny.

“Kembali lagi adalah kebijakan dari pemerintah daerah itu, keberpihakan kepada masyarakat, mampu membaca ancaman di wilayahnya. Seberapa besar investasi pembangunan yang kita lakukan apabila kita tidak mempunyai investasi untuk gerakan ataupun untuk strategi penguragan risiko bencana, kami yakin itu akan menjadi sebuah hal yang tidak akan baik,” imbuhnya.

Kemudian, untuk mendukung upaya pengurangan risiko bencana untuk beberapa dearah khususnya Sumatera Barat, BNPB juga akan melakukan pendampingan dan intervensi kebencanaan melalui kegiatan seperti Desa Tangguh Bencana (Destana) dan Keluarga Tangguh Bencana (Katana) pada 2021 mendatang.

Selanjutnya, Eny meyakini bahwa dengan pengurangan risiko bencana melalui peguatan sistem peringatan dini dan investasi peningkatan kapasitas masyarakat maka tragedi bencana akan dapat diminimalisir dan pembangunan manusia akan menjadi lebih baik untuk ke depannya.

"Mengutip apa yang pernah disampaikan Deputi Pencegahan BNPB, Lilik Kurniawan bahwa; Bila kita tidak melakukan pencegahan dan kesiapsiagaan sehingga kemudian terjadi bencana, maka kita menciptakan tragedi. Bila kita tidak melakukan pencegahan dan kesiapsiagaan kemudian tidak terjadi bencana, maka kita menerima keberuntungan. Bila kita melakukan pencegahan dan kesiapsiagaan kemudian terjadi bencana maka kita melakukan reduksi bencana. Bila kita melakukan pencegahan dan kesiapsiagaan kemudian tidak terjadi bencana, maka kita menjalankan investasi pembangunan,” tutup Eny.




Dr. Raditya Jati

Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB

Penulis

Admin


BAGIKAN